Kronologi Pengamanan RRI dan Halim Perdanakusumah

Tulisan ini merupakan rangkuman dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang karya Julius Pour, diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada September 2010. Tulisan ini merupakan bagian rangkuman pada bab yang menceritakan kejadian G30S PKI dari sisi Sarwo Edhie pada halaman 231-255.

Kedekatan Sarwo Edhie dengan Jenderal Yani

    Kolonel Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang anggota tentara sejak kependudukan Jepang. Dia akrab dengan Jenderal Achmad Yani karena semasa kecilnya bertetangga, ikut pelatihan militer PETA bersama, dan pernah tidur di ranjang yang berdekatan. Secara personal, beliau pernah diturunkan jabatannya dari kapten menjadi letnan sebab memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke udara sebagai bentuk ancaman untuk bisa masuk ke pendopo bupati Wonosobo agar bisa berteduh dari hujan. Padahal pada saat itu sedang ada gencatan senjata dengan Belanda karena menunggu hasil KMB. Ia menjabat sebagai Kepala Staf RPKAD (Resimen Komando Angkatan Darat) sewaktu Gerakan 30 September meletus dan menjabat sebagai Komandan RPKAD pada Februari 1966.

Laporan dari Ajudan Jenderal Yani

    Pada pukul 05.30 WIB di Kompleks Asrama RPKAD di Cijantung, ia dibangunkan oleh istrinya karena kedatangan dua ajudan Jenderal Ahmad Yani yang bernama Mayor Soebardi dan Mayor Soedarto. Pada waktu itu beliau masih memakai piama terheran-heran mengapa keduanya datang sepagi ini. Dikabarkan kepada beliau bahwasanya Jenderal Yani ditembak di rumahnya. Kedua ajudan Jenderal Yani tersebut mendapatkan kabar dari Mbok Milah selaku ART di rumah Jenderal Yani. Mbok Milah menceritakan kejadian penembakan kepada Mayor Soebardi karena rumahnya dengan rumah Pak Yani sama-sama di Menteng.

    Mayor Soebardi sempat pergi ke kediaman Mayor Jenderal S. Parman, tetapi didapatinya beliau sudah diculik. Pukul 05.00, Mayor Soebardi mengabarkan Mayor Sudarto lalu sama-sama pergi ke kediaman Panglima Kodam V/Djaja Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Ternyata, Mayjen Umar pun tidak mendapatkan informasi apa-apa mengenai kejadian penculikan para jenderal. Mayor Soebardi mengusulkan kepada Mayjen Umar untuk menutup seluruh akses jalan dari Jakarta dan memerintahkan kedua ajudan pribadi Pak Yani untu pergi ke kediaman Kolonel Sarwo Edhie.

Respons Sarwo dengan RPKAD

    Setelah mendapat informasi yang jelas dari kedua ajudan, Kolonel Sarwo Edhie menghubungi Mayor Infanteri Chairul Iman Santosa selaku Komandan Batalyon I/RPKAD untuk menarik 4 kompi yang ada di Senayan untuk kembali ke Cijantung. Menariknya, 4 kompi ini pun bingung karena sebelumnya sudah berangkat ke Senayan dari Cijantung untuk melaksanakan latihan upacara peringatan HUT ABRI.

    Sesampainya di Cijantung, keempat kompi tersebut diberikan kejelasan oleh CI Santosa untuk mengejar para penculik Jenderal Yani yang pada saat itu bertugas sebagai Panglima Angkatan Darat. Lantas, keempat kompi bersama dengan CI Santosa dan Sarwo Edhie melakukan persiapan di Cijantung. Kekuatan personel di Cijantung terbatas sebab ¾ dari jumlah pasukan Angkatan Darat Indonesia sudah dipindahtugaskan ke luar Jawa untuk berbagai operasi, seperti Operasi Ganyang Malaysia dan pemulihan wilayah di Sulawesi, Sumatera, dan berbagai daerah lainnya. Pelaksanaan Dwikora saja mengerahkan 64 batalyon.

Kedekatan AS-Indonesia

    Diceritakan pada halaman 243 bahwasanya AS berusaha menjaga hubungan baik dengan Indonesia yang dikepalai oleh Presiden John F. Kennedy. Hal ini dilatarbelakangi karena Indonesia mempunyai sumber daya alam minyak potensial. Akan tetapi secara politik, hubungan Indonesia-AS melemah disebabkan Presiden Soekarno membentuk Poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang. Meskipun demikian, secara militer AS terus memberikan bantuan kepada Indonesia. Sampai akhir 1963 saja, AS sudah menggelontorkan 60,9 juta USD untuk keperluan militer Indonesia dan memberikan sejumlah peralatan tempur untuk 43 batalyon Indonesia. Jumlah TNI yang diikutsertakan dalam latihan lanjutan ke AS pun ditingkatkan, dari 250 menjadi 500 orang.

Kendala Kostum Sebelum Operasi

    Ada satu pasukan yang bernama pasukan Tandjung yang sebetulnya segera disiapkan untuk pergi ke Kalimantan Utara untuk melakukan sebuah operasi. Pasukan tersebut hanya mengenakan baju TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Maka, Kolonel Sarwo Edhie menginstruksikan seluruh pasukan yang akan bergerak mengejar penculik Jenderal Yani untuk mengenakan jaket loreng-loreng, celana hijau, dan baret merah.

Perintah Mayor Jenderal Soeharto

    Jam 18.30 baru muncul tugas dari Mayjen Soeharto untuk mengamankan kedua tempat strategis tersebut. Dia menginstruksikan untuk melakukan pengamanan dengan cara yang senyap, minim penembakkan. Lettu Feisal Tandjung selaku ketua pasukan mengatakan bahwasanya TNI hanya perlu 1 peleton 30 orang untuk melumpuhkan RRI, sebab hanya ada sekitar 10 penjaga yang berada di sana.

    Mayjen Soeharto lalu memerintahkan pasukan RPKAD untuk kembali ke Markas Kostrad seusai mengamankan kedua fasilitas vital tersebut. Beliau memerintahkan Batalyon I/RPKAD dengan berbagai bantuan dari Yon Kavaleri 7, Yon 328, dan Yon Kavaleri 1 untuk bergerak mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Ada dua pasukan yang menyerbu Halim, yakni pasukan CI Santosa yang pergi dari Kalimalang atau utara landasan dan pasukan Sarwo Edhie yang melambung dari selatan landasan. Di sisi lain, ada satu pasukan lagi di Kostrad yang ditugaskan sebagai pasukan cadangan, menunggu perintah berikutnya dari Soeharto.

Soekarno Diamankan

    Pada 23.30 WIB, Mangil dan Saelan telah mengungsikan PBR (Pemimpin Besar Revolusi) Ir. Soekarno dari Halim menuju Bogor dengan rombongan jip yang bertahap. Hal ini ditujukan untuk menghindari presiden dari baku tembak antara komplotan PKI dengan pasukan AD. Dengan begitu, pengamanan Pangkalan Udara Halim menjadi mulus setelah sekitar 10 menit dikomandoi oleh Sarwo Edhie dan CI Santosa pada pukul 6 pagi tanggal 2 Oktober 1965.

    Sialnya, saat Kolonel Sarwo Edhie akan pergi ke Korps AURI untuk menemui Soekarno di Bogor, beliau harus melalui insiden baku tembak terlebih dahulu dengan para pemberontak yang hendak melarikan diri saat melewati Pondok Gede. Satu ajudannya tewas di tempat. Sesampainya dia di AURI, dia pergi menggunakan helikopter menuju Bogor untuk menemui Bung Karno. Ia kaget karena dikiranya presiden sedang berada di Halim pagi itu.

Komentar