Kolonel
Sarwo Edhie Wibowo adalah seorang anggota tentara sejak kependudukan Jepang.
Dia akrab dengan Jenderal Achmad Yani karena semasa kecilnya bertetangga, ikut
pelatihan militer PETA bersama, dan pernah tidur di ranjang yang berdekatan. Secara
personal, beliau pernah diturunkan jabatannya dari kapten menjadi letnan sebab
memerintahkan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke udara sebagai bentuk
ancaman untuk bisa masuk ke pendopo bupati Wonosobo agar bisa berteduh dari
hujan. Padahal pada saat itu sedang ada gencatan senjata dengan Belanda karena
menunggu hasil KMB. Ia menjabat sebagai Kepala Staf RPKAD (Resimen Komando
Angkatan Darat) sewaktu Gerakan 30 September meletus dan menjabat sebagai
Komandan RPKAD pada Februari 1966.
Laporan dari Ajudan Jenderal Yani
Pada
pukul 05.30 WIB di Kompleks Asrama RPKAD di Cijantung, ia dibangunkan oleh
istrinya karena kedatangan dua ajudan Jenderal Ahmad Yani yang bernama Mayor
Soebardi dan Mayor Soedarto. Pada waktu itu beliau masih memakai piama
terheran-heran mengapa keduanya datang sepagi ini. Dikabarkan kepada beliau
bahwasanya Jenderal Yani ditembak di rumahnya. Kedua ajudan Jenderal Yani
tersebut mendapatkan kabar dari Mbok Milah selaku ART di rumah Jenderal Yani.
Mbok Milah menceritakan kejadian penembakan kepada Mayor Soebardi karena rumahnya
dengan rumah Pak Yani sama-sama di Menteng.
Mayor
Soebardi sempat pergi ke kediaman Mayor Jenderal S. Parman, tetapi didapatinya
beliau sudah diculik. Pukul 05.00, Mayor Soebardi mengabarkan Mayor Sudarto
lalu sama-sama pergi ke kediaman Panglima Kodam V/Djaja Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah. Ternyata, Mayjen Umar pun tidak mendapatkan informasi apa-apa
mengenai kejadian penculikan para jenderal. Mayor Soebardi mengusulkan kepada
Mayjen Umar untuk menutup seluruh akses jalan dari Jakarta dan memerintahkan
kedua ajudan pribadi Pak Yani untu pergi ke kediaman Kolonel Sarwo Edhie.
Respons Sarwo dengan RPKAD
Setelah
mendapat informasi yang jelas dari kedua ajudan, Kolonel Sarwo Edhie
menghubungi Mayor Infanteri Chairul Iman Santosa selaku Komandan Batalyon
I/RPKAD untuk menarik 4 kompi yang ada di Senayan untuk kembali ke Cijantung.
Menariknya, 4 kompi ini pun bingung karena sebelumnya sudah berangkat ke
Senayan dari Cijantung untuk melaksanakan latihan upacara peringatan HUT ABRI.
Sesampainya
di Cijantung, keempat kompi tersebut diberikan kejelasan oleh CI Santosa untuk
mengejar para penculik Jenderal Yani yang pada saat itu bertugas sebagai
Panglima Angkatan Darat. Lantas, keempat kompi bersama dengan CI Santosa dan
Sarwo Edhie melakukan persiapan di Cijantung. Kekuatan personel di Cijantung
terbatas sebab ¾ dari jumlah pasukan Angkatan Darat Indonesia sudah
dipindahtugaskan ke luar Jawa untuk berbagai operasi, seperti Operasi Ganyang
Malaysia dan pemulihan wilayah di Sulawesi, Sumatera, dan berbagai daerah
lainnya. Pelaksanaan Dwikora saja mengerahkan 64 batalyon.
Kedekatan AS-Indonesia
Diceritakan
pada halaman 243 bahwasanya AS berusaha menjaga hubungan baik dengan Indonesia
yang dikepalai oleh Presiden John F. Kennedy. Hal ini dilatarbelakangi karena
Indonesia mempunyai sumber daya alam minyak potensial. Akan tetapi secara
politik, hubungan Indonesia-AS melemah disebabkan Presiden Soekarno membentuk
Poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyongyang. Meskipun demikian, secara militer AS
terus memberikan bantuan kepada Indonesia. Sampai akhir 1963 saja, AS sudah menggelontorkan
60,9 juta USD untuk keperluan militer Indonesia dan memberikan sejumlah
peralatan tempur untuk 43 batalyon Indonesia. Jumlah TNI yang diikutsertakan
dalam latihan lanjutan ke AS pun ditingkatkan, dari 250 menjadi 500 orang.
Kendala Kostum Sebelum Operasi
Ada
satu pasukan yang bernama pasukan Tandjung yang sebetulnya segera disiapkan
untuk pergi ke Kalimantan Utara untuk melakukan sebuah operasi. Pasukan
tersebut hanya mengenakan baju TNKU (Tentara Nasional Kalimantan Utara). Maka,
Kolonel Sarwo Edhie menginstruksikan seluruh pasukan yang akan bergerak
mengejar penculik Jenderal Yani untuk mengenakan jaket loreng-loreng, celana
hijau, dan baret merah.
Perintah Mayor Jenderal Soeharto
Jam 18.30 baru muncul tugas dari Mayjen Soeharto untuk mengamankan kedua tempat strategis tersebut. Dia menginstruksikan untuk melakukan pengamanan dengan cara yang senyap, minim penembakkan. Lettu Feisal Tandjung selaku ketua pasukan mengatakan bahwasanya TNI hanya perlu 1 peleton 30 orang untuk melumpuhkan RRI, sebab hanya ada sekitar 10 penjaga yang berada di sana.
Mayjen
Soeharto lalu memerintahkan pasukan RPKAD untuk kembali ke Markas Kostrad
seusai mengamankan kedua fasilitas vital tersebut. Beliau memerintahkan
Batalyon I/RPKAD dengan berbagai bantuan dari Yon Kavaleri 7, Yon 328, dan Yon
Kavaleri 1 untuk bergerak mengamankan Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah. Ada
dua pasukan yang menyerbu Halim, yakni pasukan CI Santosa yang pergi dari
Kalimalang atau utara landasan dan pasukan Sarwo Edhie yang melambung dari
selatan landasan. Di sisi lain, ada satu pasukan lagi di Kostrad yang ditugaskan
sebagai pasukan cadangan, menunggu perintah berikutnya dari Soeharto.
Soekarno Diamankan
Pada
23.30 WIB, Mangil dan Saelan telah mengungsikan PBR (Pemimpin Besar Revolusi) Ir. Soekarno dari Halim
menuju Bogor dengan rombongan jip yang bertahap. Hal ini ditujukan untuk
menghindari presiden dari baku tembak antara komplotan PKI dengan pasukan AD.
Dengan begitu, pengamanan Pangkalan Udara Halim menjadi mulus setelah sekitar
10 menit dikomandoi oleh Sarwo Edhie dan CI Santosa pada pukul 6 pagi tanggal 2
Oktober 1965.
Sialnya, saat Kolonel Sarwo Edhie akan pergi ke Korps AURI untuk menemui Soekarno di Bogor, beliau harus melalui insiden baku tembak terlebih dahulu dengan para pemberontak yang hendak melarikan diri saat melewati Pondok Gede. Satu ajudannya tewas di tempat. Sesampainya dia di AURI, dia pergi menggunakan helikopter menuju Bogor untuk menemui Bung Karno. Ia kaget karena dikiranya presiden sedang berada di Halim pagi itu.
Komentar